Aku Terkenang Flores, catatan Kapten Tasuku Sato








Cetakan II Penerbit Nusa Indah, Ende, 2005


Buku “Aku Terkenang Flores” pertama
kali terbit dengan judul asli I Remember
Flores
yang diterbitkan oleh Farrar,
Straus And Cudahy, New York
tahun 1957 yang merupakan karya misionaris Mark
Tennien berdasarkan catatan Kapten Tasuku Sato. Dan berselang hampir dua puluh
tahun kemudian baru diterbitkan kembali di tempat Sato mengenang Flores dalam edisi
Bahasa Indonesia oleh Penerbit Nusa Indah, Kota Ende. Cetakan pertama pada
tahun 1976 dan tahun 2005 untuk cetakan kedua. Pulau Flores berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang termasuk
dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah
sekitar 14.300 km². Nama Flores sendiri berasal dari bahasa Portugis yang
berarti "bunga".





Dalam buku ini mengisahkan tentang
awal kedatangan seorang Komandan Angkatan Laut Kekaisaran Nippon yang mengemban
tugas di Wilayah Flores, dia kemudian berkenalan dengan kehidupan sosial,
budaya dan keagamaan masyarakat Flores yang sederhana pasca kejatuhan
pemerintah Belanda dan era pendudukan tentara Jepang. Menceritakan hal-hal yang
akan dikerjakan dalam wilayah baru ditempatinya, bahkan hingga menuturkan
keindahan adat istiadat dan alam dari Bumi Flores yang disajikan dengan bahasa
sastrawi. Juga menarik adalah catatan-catatan Sato ketika tinggal di Kota Ende dan
perjalanannya mengunjungi kota-kota lain di Pulau Flores dengan eksotikanya.







Penerbit Farrar,
Straus And Cudahy, New York
, 1957


http://www.amazon.com 


Tugasnya terutama untuk mengasingkan
para misionaris yang dianggap musuh negara yang bisa mendatangkan kerugian pada
pendudukan Jepang. Sehingga mengurai kisah persentuhan sang kapten dengan Agama
Khatolik, agama yang kemudian dianggapnya sebagai sesuatu yang urgen dalam
tatanan masyarakat Flores. Semula Sato berpikir bahwa Flores yang terletak di
Lautan Pasifik Selatan tidak terlalu menjadi perhatian atau dianggap tidak
penting dalam gejolak perang namun semua itu berbalik ketika Flores juga
akhirnya menjadi saksi berkecamuknya perang. Kisah ini kemudian diakhiri dengan
berakhirnya Perang Asia Pasfiik yang juga menjadi perang terdasyat yang pernah
terjadi di bumi ini. Bagaimana kemudian Sato yang memiliki jiwa patriotik
akhirnya mengakhiri tugasnya di Flores dengan miris mengenang kehancuran akibat
perang.





Namun kurangnya dalam buku ini adalah
bahwa Tasuku Sato, sepertinya tidak mengisahkan banyak bagaimana kehidupan
masyarakat di bawah tekanan pendudukan Jepang, bagaimana dengan kekerasan dalam
kerja paksa seperti romusha
yang tidak sama sekali disinggung dalam catatan memoar ini, dan begitu pula
dengan hal-hal buruk yang sempat terjadi dan seolah diabaikan begitu saja,
seperti pembangunan jalan-jalan dan perkebunan kopi untuk kepentingan
pendudukan oleh Jepang. Namun dibalik itu Tasuku Sato adalah sosok orang Jepang
yang secara pribadi memahami konteks sosialogi kemasyarakatan yang tentu
menginginkan hal terbaik bagi masyarakat Flores. (*)





Kupang, 29 Agustus 2013

©daonlontar.blogspot.com







Komentar