Ketika Koleksi Museum dibawa ke Ruang Kreatif, catatan pendek penyelengaraan “Koteklema & Ksatria Laut Lamalera” di Museum Nusa Tenggara Timur






Bagaimana jadinya bila semua yang ada di museum menjadi
hidup, seperti kisah penjaga malam museum Larry Daley yang diperankan aktor Ben
Stiller dalam film Night at the Museum.
Ia harus kepayahan menghadapi semua koleksi museum yang secara tiba-tiba hidup
di setiap malam dan membuat semua kegaduhan hingga pagi menjelang. Begitu
menariknya film fantasi ini seolah kita diajak bernostalgia hingga ke masa
ratusan hingga ribuan tahun lalu, mewakili berbagai peradaban yang dikemas berada
dalam satu ruang dan waktu yang sama. Namun itu hanya sebuah karya fiksi
imajinatif, lalu pertanyaannya adalah bagaimana cara untuk menghidupkan maseum
dalam arti sesungguhnya.





Beberapa waktu lalu ada teman-teman pekerja seni dari
Yogya dan Jakarta yang datang ke Kupang dan Lamalera untuk menggali informasi
dan mendalami arsip koleksi museum, untuk bisa menghidupkannya di ruang kreatif.
Mereka adalah salah satu pemenang hibah proyek Kembangkan Arsip budaYA (KARYA),
dengan judul proposal “Koteklema & Ksatria Laut Lamalera”. Proyek ini
menggunakan metode bercerita/bertutur (story-telling)
sebagai sebuah pendekatan penciptaan karya berupa pergelaran seni pertunjukkan
berbasis arsip Museum Daerah Nusa Tenggara Timur (MNTT), yang mana MNTT sebagai
lembaga yang tergabung dalam Jaringan Arsip Budaya Nusantara (JABN). Kegiatan
dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan arsip sejarah dan budaya dengan membuka
akses seluas-luasnya kepada masyarakat umum.










 







Pergelaran kreatif ini melibatkan peran pelajar SMU
terpilih di Kota Kupang, yang bertujuan mengenalkan kebudayaan sendiri melalui
proses pembelajaran kreatif sebagai salah satu cara mengembangkan arsip museum.
Walau dengan persiapan yang minim dan beberapa kekurangan yang terlihat, namun
dalam keseluruhannya dapat memberikan usaha dan proses atau learning by doing yang maksimal. Bukan
sebagai hasil kerja kreatif tetapi lebih pada proses kreatif itu sendiri, yang
terus berlangsung karena manusia tak pernah dilepaskan dari budaya.





Tema kegiatan sendiri berangkat dari nama Koteklema yang adalah jenis ikan paus
sperma (physeter macrocephalus) yang
diburu oleh masyarakat Lamalera. Sedangkan maksud Ksatria Laut Lamalera adalah sebutan yang merujuk pada para pemburu
paus, atau yang disebut dengan Lamafa. Perburuan Koteklema telah menjadi budaya
dan tradisi bagi masyarakat Lamalera sejak abad ke-16 hingga saat ini, dan
sebuah kebetulan jika di Museum NTT terdapat kerangka koteklema yang pernah
terdampar di pesisir pantai Kota Kupang sekitar tahun 1960-an, yang saat ini
menjadi koleksi Museum NTT. Penampilannya sederhana menyerupai kerangka fosil
hewan-hewan prasejarah koleksi The
Department of Paleobiology - Museum of Natural History
di Amerika.





Ketika datang ke acara kegiatan yang berlangsung di
Museum NTT, kita sengaja diajak untuk melewati pameran benda-benda koleksi
museum, sekedar memperlihatkan dan kiranya memancing minat untuk bisa
mendalaminya. Layaknya kita memasuki sebuah lorong masa silam yang
memperlihatkan sekarang kita berada dimana, dari mana dan hendak kemana. Pergelaran
seni dimulai dengan kehidupan masyarakat Lamalera yang mengalami kesulitan
bahan pangan dan kemudian mendapatkan berkah untuk menangkap ikan paus di
lautan. Hal ini menarik karena mengangkat kisah masyarakat Lamalera yang hidup
dalam kesederhanaan dan kemudian bersinggungan dengan adat istiadat, budaya
hingga isu internasional. Bagaimana tradisi ini dapat dipertahankan atau mungkin
kelak akan tenggelam dalam arus zaman. Kemudian juga dikaitkan dengan tema
global konservasi yang menyangkut keberadaan koteklema, tentu masih akan terus
diperdebatkan, mungkin kita bisa bijak menilainya bahwa apa yang dilakukan
masyarakat Lamalera hanya sebuah usaha untuk memenuhi kebutuhan pokok dan bukan
sebuah ajang eksploitasi. Sejalan dengan apa yang dikatakan Mahatma Gandhi
bahwa “dunia dapat mencukupi kebutuhan
setiap manusia, namun bukan untuk keserakahannya”.





Keseluruhan kegiatan ini mungkin menjadi media yang
menarik dibandingkan dengan sesuatu yang komersial memaksakan budaya masuk
dalam hegemoni kapital. Ketika para Lamafa dibayar hanya untuk beratraksi
menikam udara dan laut yang sepi hanya untuk menghibur para jurnalis
internasional dan penonton VIP dan yang tidak mau menyediakan waktu pada momen
yang tepat, seolah budaya perburuan sakral yang telah berlangsung ratusan tahun
dieksploitasi begitu saja.











Satu juga catatan menarik dengan hadirnya seniman ahli
bertutur atau pakar story-telling
yang sakaligus juga bertindak sebagai fasilitator, Agus Nur Amal atau lebih
dikenal dengan PM. Toh yang kiprahnya di dunia pedongeng dimulai sejak 1992 dan
seringkali muncul dalam beberapa acara televisi. Dalam kesempatan ini PM. Toh
membawakan dongeng kisah pemburu paus dengan metode yang mudah dipahami oleh
siapa saja. PM. Toh dengan solo
performance
dan irama cengkoknya yang khas, sepertinya telah menghidupkan
kisah menarik melalui dongengnya yang ekspresif dan kocak, layaknya membaca
halaman demi halaman buku cerita dengan bahasa dongeng dan gerak hidup yang
terus mengalir dan membuat kita tidak terlepas mengikuti dengan serius, apa
yang akan dilakukannnya lagi dan lagi secara unik, sederhana dan fresh.





Perlu juga diingat bahwa Nusa Tenggara Timur memiliki
begitu banyak kekayaan tradisi sastra lisan, namun seiring waktu kebudayaan
lisan itu akan mulai memudar. Padahal kebudayaan di Nusa Tenggara Timur lebih
dominan menggunakan budaya lisan yang dituturkan dalam upacara-upacara adat. Dalam
pergelaran upacara misalnya dituturkan kisah-kisah para leluhur, silsilah
keturunan, peristiwa besar apa yang pernah terjadi dan lain sebagainya. Selama
ini budaya bahasa lisan ini dapat bertahan karena pola regenerasi dalam
masyarakat adat, namun apakah hal ini dapat terus bertahan. Mungkinkah seniman
NTT bisa belajar dari PM. Toh, yang kabarnya mempunyai impian besar mendirikan
Institut Tukang Cerita Nusantara, dalam menghidupkan kembali sastra lisan ke
cara kreatif yang menarik.










 






 







Bahwa sastra lisan yang memuat sejarah budaya lisan
bersama dengan artefak benda kebudayaan lainnya dapat menjadi sebuah aset
museum yang statis dan kemudian sudah ada yang dilestarikan dalam bentuk
rekaman, transkrip, video tape dan
metode lainnya, tapi tidak selamamya dapat dikatakan berkembang tanpa sentuhan
kreativitas. Aset museum yang semula statis terlalu lama membeku di ruang pamer
seharusnya menjadi aset yang perlu dipelajari dan dikembangkan ke ruang-ruang
kreatif sehingga dapat menjadi karya yang liquid,
dinamis dan humanis. Koleksi museum ini
dapat menjadi bahan rujukan (reference)
dan penelitian (research). Kemudian
jika dikaitkan dengan pelestarian aset museum dengan usaha kreatif melalui
pembelajaran masa lalu yang berdampak juga pada pengetahuan masa kini dan
mendatang sehingga dalam ruang kreatif budaya dapat ditemukenali dan
dilestarikan. Seorang mantan presiden Amerika pernah berujar semakin banyak
kita mengetahui masa lalu maka semakin siap menghadapi masa depan.











Apa pelajaran yang dapat dipetik, bahwa museum menarik
untuk dikunjungi dengan melihat tampilan koleksi artefak beku dan mati pada
ruang statis museum untuk dapat dipelajari dan teliti oleh para penikmat seni
dan pemerhati budaya, yang kemudian dijadikan inspirasi dalam penciptaan karya
seni kreatif lainnya, melalui media yang lebih ekspresif seperti story-telling, nyanyian, tarian, sajak,
novel, seni rupa, audio video hingga
sesuatu yang fictional seperti film kisah
Larry Daley dengan penghuni-penghuni museum yang “hidup”. Bukankah demikian! (*)








NB. “Koteklema &
Ksatria Laut Lamalera”, Produksi oleh Hindra Setya Rini (pengagas ide dan
program manajer) - Rifqi Mansur Maya (dokumentator Video & pelaksana
teknis) –


Agus Nur Amal / PM. Toh
(story-teller & fasilitator)


Kupang, 24-27 September
2013 








Kupang, 27 September
2013


©daonlontar.blogspot.com




Komentar