Soul brief for the end of January, 2014








picture:
tresscox.com.au




Tiga puluh satu hari bergeser dari
awal tahun 2014, tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Namun bulan ini berbeda
karena begitu serasa panjang, bulan dengan rutinitas kerja yang tinggi dan
beberapa kali harus pulang pagi, seolah tak ada hari untuk libur. Bulan dengan
begitu banyak hal yang harus dilakukan segera dengan jumlah jam tidur yang
berkurang. Pekerjaan seperti mengalihkan perhatian dari esensi Januari, sebagai
bulan pembuka di setiap tahunnya, bulan yang seharusnya dipenuhi dengan konsep
bukan hal teknis, bulan yang seharusnya dipenuhi mimpi-mimpi bukan hal-hal
praktis. Januari dengan jumlah hari yang lebih menjadi penanda jejak, setahun, empat tahun atau berpuluh-puluh tahun yang lalu. Di bawah pohon itu, dibawah
naungan koridor, dibawah atap bangunan besar, di sofa biru hingga malam panjang
yang datang berbisik. Masihkah itu dalam kenangan, atau kah sang raksasa waktu
telah menelannya. 





Hari-hari di Januari seperti lambat
berjalan, sebagian orang lebih memilih berada di rumah dibandingkan di luar
rumah, memang di bulan ini intensitas hujan cukup tinggi dengan angin yang bertiup
keras hingga membuat pepohanan melambai-lambai garang seolah baru saja
kehilangan kekasihnya. Kadang kala angin kering yang bertiup, menciptakan rasa
sepi dan sepi, masihkah keramaian itu datang dengan canda tawa di hari-hari
yang lalu. Bulan dengan siang yang lebih panjang daripada malam, memperlihatkan senja yang datang terlambat dan fajar yang datang lebih awal. Bulan yang dikala lalu sempat membuatku harus menunggu sebulan,
untuk mengumpulkan energi keberanian untuk berkata hal yang tak seharusnya
dikatakan!. Di saat kini pulang malam atau pulang pagi, menyisakan jalanan yang
hening, masihkah ada yang berpikir ini bulan Januari, bulan di penghujang akhir
sebagai pertemuan terakhir. 





Saya hampir selalu menulis di akhir
Januari, entah dorongan kenangan yang menuntut untuk selalu menuliskan di akhir
Januari ini, ada semacam hal yang digantung untuk kemudian harus dibaringkan ke
tempat selayaknya. Semacam jiwa ini perlu diberi permenungan agar semakin
dewasa dan bijak. Bukankah kita dahulunya adalah jiwa-jiwa yang bebas kemudian
terlahirkan, dibesarkan dalam realitas dan didewasakan dengan permasalahaan,
untuk kemudian dibebaskan kembali menjadi jiwa-jiwa yang bebas. Sekedar menjadi
manusia yang terus memelihara ingatan, terus berjalan dengan selalu menoleh ke
belakang untuk mengukur seberapa jauh kita telah melangkah dari tempat mengawali,
agar kelak mungkin kita bisa kembali mengenang jika jalan didepan kita telah memberikan
hakikat sesungguhnya tentang kehidupan. Entah disana sempatkah memikirkan hal
yang sama!. (*)





Kupang, 31 Januari
2014


©daonlontar.blogspot.com




Komentar