Dari Telinga Swasta hingga Pohon Telinga








photo: whatjesusdid.org





Dahulu
sewaktu masih
bersekolah dasar di Kota Kupang, saya sering mendengar istilah telinga swasta. Telinga swasta diartikan sebagai kemampuan
mendengar yang kurang. Jika ada teman

yang
butuh
hingga dua kali atau lebih
mengulang omongan yang kita sampaikan, maka cap memiliki telinga swasta, sudah kita berikan
kepadanya. Dalam bahasa baku, kita tidak akan menemukan kosakata demikian,
karena hanya menjadi guyonan kita di
masa tersebut yang hingga kini masih dipakai
dalam kosa kata bahasa Kupang. Mungkin karena di
masa tersebut yang dinamakan dengan
sekolah
dan instansi swasta masih kalah jauh dengan sekolah dan instansi negeri
yang lebih maju, sehingga sebutan swasta menjadi label kelas dua. Namun kini telah berubah jauh, di mana-mana kecenderungan sekolah swasta
dan perus
ahaan swasta jauh lebih baik dibandingkan negeri.





Ada
juga istilah telinga tajam, yaitu
istilah yang dilekatkan bagi para penguping pembicaraan orang, sebuah st
ereotip negatif tentunya. Di masa kanak-kanak juga, memiliki telinga yang tidak standar, biasanya menjadi bahan
ejekan karena bentuk daun telinga yang lebih berbentuk parabola dan besar. Daun
telinga memang berfungs
i untuk menangkap gelombang suara, tentu
masih ada gesture tambahan jika suara yang kita dengar sayup, maka menambahkan
telapak tangan dekat telinga dapat memperlebar daya tangkap gelombang suara
untuk masuk kedalam telinga.





Selain
itu di
Kota Kupang masa tahun 90-an, banyak saya
temukan orang yang memiliki penyakit telinga, yang kami sebut telinga oek (congek), telinga yang mengeluarkan
nanah kuning dan bau. Kebanyak
an mereka adalah anak-anak miskin yang
jauh dari pola hidup bersih, seperti mengorek kotoran telinga dengan
menggunakan lidi
, karena penggunaan cotton buds belum terlalu dikenal seperti sekarang. Istilah THT (telinga,
hidung dan teng
gorokan) belum femilier apalagi keberadaan
dokter THT belum terdengar di Kota Kupang. 









 picture: wecareremedy.co.uk





Sebagai
kota
yang terkenal dengan musik angkotnya yang
keras
.
Dahulu
terdengar ada beberapa peneliti, salah satunya dari Australia yang
mengungkapkan bahwa
penduduk Kota Kupang
dalam jangka panjang
akan mengalami gangguan pendengaran sebagai akibat sering mendengar bunyi musik kendaraan bemo yang keras. Sampai
sekarang di puluhan tahun
kemudian,  tak ada penelitian lanjutan, apakah benar penduduk Kota Kupang banyak mengalami gangguan pendengaran akibat musik angkot. Perlu juga diperhatikan bahwa kini dengan perbaikan tingkat ekonomi banyak penduduk Kota Kupang yang telah migrasi menggunakan
kendaraan pribadi dibandingka
n tahun 90-an, dimana lebih banyak menggunakan transportasi bemo. Satu kebiasaan yang
tak terlihat lagi tentang telinga, adalah menggunakan satu helai bulu ayam yang
sebagian besar bulunya telah dilepas, hanya menyisahkan di ujung, dimasukkan ke
dalam lubang telinga. Bukan bermaksud membersihkan tetapi hanya untuk
mendapatkan sensasi kenikmatan karena geli.





Di
tahun 90-an juga ada fenomana ka
wula muda laki-laki di Kota Kupang yang
senang menindik telinga kiri untuk memasang paku pentul atau anting-anting.
Trend ini banyak dipakai anak-anak setara smp, sma, mahasiswa
, juga kalangan konjak (kondektur) dan supir angkot. Karena begitu trend-nya style ini
banyak ditiru oleh perempuan tomboy dengan melakukan hal yang sama. Tak jarang
praktik yang tidak steril ini mengakibatkan infeksi, adalah hal lucu ketika
melihat orang dengan telinga bengkak luka dan memaksakan diri menggunakan
anting-anting, dan kejadian ini lazim ditemukan saat itu. 





Saya juga pernah mendengar bahwa di
daerah pertokoan
Siliwangi Kota Kupang di tahun tersebut banyak buruh toko yang pesta miras, setelah aktifitas toko usai sekitar jam 10 malam. Mereka meminum miras dengan
menaburi tai telinga dari masing-masing peminum ke
dalam minuman keras yang akan diputar oleh bandar. Minuman keras yang terkenal saat itu adalah Kuntul, sejenis bir dengan botol mini berwarna biru atau
coklat
, campuran tai telinga katanya untuk mendapatkan daya mabuknya, entahlah!. Di samping kumpul-kumpul untuk melakukan
berbagai aktivitas, banyak juga pendud
uk kota kupang yang gemar bermain kartu
remi, bagi yang kalah hukumannya menjepit
daun
telinga
dengan jepitan pakaian atau mengantungkan

beberapa buah

batu bat
erai bekas dengan menggunakan tali rafia di telinga. Ada juga kebiasaan orang yang mengecek kondisi telur dengan cara menguncang-guncangkan dengan keras dekat telinga, jika berbunyi
telur tersebut dianggap rusak. Padahal cara
tersebut tidak tepat, malahan membuat telur yang
bagus menjadi rusak. Sedangkan cara yang tepat adalah meneropong telur dengan
sumber cahaya lampu.
Tak luput juga dari
mitos, konon kabarnya terlalu banyak menggunakan kemiri dalam masakan dapat
mengakibatkan tuli.







photo: kaskus.co.id





Semula
saya mengira istilah masuk telinga kiri
keluar telinga kanan
adalah asli
Kota Kupang, namun ternyata istilah tersebut jamak
digunakan
. Salah satunya ketika saya menonton film buatan Singapura. Tentang seorang anak yang diceramahi orang tuanya, kata-kata orang tua dibuat animasi masuk telinga kiri dan keluar telinga
kanan. Jadi apa yang dinasihatkan berlalu begitu saja tanpa ada yang masuk di
pikiran anak
itu





Di permainan anak-anak masa itu, membuat telepon dari kaleng
bekas

merupakan sebuah kre
atifitas. Dibutuhkan dua kaleng susu cap
nona dengan tutup dibuka dan tali benang bola yang
telah dibalur lilin. Membuatnya dengan cara mudah, salah satu sisi kaleng dilubangi dan dimasukan tali benang
dengan penganjal sebatang lidi.
Jadilah telepon tradisional yang sangat terkenal di seluruh dunia, yang diyakini sudah
ada sebelum Alexander Graham Bell menemukan telepon. Kini jangankan membuat
telepon dari kaleng yang sangat merepotkan, anak SD
jaman sekarang sudah membawa ponsel ke sekolah.





Pesta syukuran di
rumah-rumah penduduk adalah salah satu budaya di Kota Kupang, sering kita temui
pesta yang berlangsung hingga dini hari dengan alunan berbagai macam jenis
musik seperti country, dansa, rock, pop dan lainnya. Bagi para tetangga yang memiliki
pendengaran sensitif, tinggal di sekitaran tempat pesta, dijamin tidak tertidur
sampai pagi.









Masih tentang telinga, ada juga ungkapan
telinga berdiri, kosa kata dalam
bahasa Kupang yang sepertinya mengikuti gesture telinga anjing yang tegak atau berdiri
ketika mendengar suara yang mencurigakan. Sehingga telinga berdiri diartikan sebagai kondisi siaga atau waspada
terhadap sesuatu yang akan terjadi. Ada juga telinga kebal yang artinya tidak gampang terpengaruh atau sulit
dinasehati, demikian juga dengan telinga
tabal
yang berarti sikap acuh tak acuh dan tidak peduli.






Ada
juga istilah pohon telinga, istilah
ini memang sudah baku yang merujuk pada area antara daun telinga ke bagian
pangkal leher atas. Namun dalam bahasa pergaulan di Kota Kupang, pohon telinga
adalah bagian tu
buh yang biasa menjadi objek penderita baik oleh kekerasan fisik dan penyakit. Kalau kekerasan fisik seperti perkelahian, maka pohon telinga biasanya menjadi sasaran pukulan bogem
(istilah Kupang “falungku”), demikian
juga dengan tamparan orang tua atau guru yang mengenai bagian ini
. Jaman tersebut guru terbilang keras dalam membina
murid-muridnya, tamparan di
telinga yang keras untuk beberapa saat
dapat membuat telinga berdenggung dan kehilangan pendenga
ran beberapa detik. Sedangkan untuk penyakit biasanya disebabkan
oleh penyakit gondongan
(parotitis epidemica) atau di Kupang lebih
dikenal dengan sakit Boff, penyakit
yang diakibatkan oleh infeksi virus menular pada kelenjar liur yang memberikan
efek nyeri pada batang leher atas dekat dengan telinga. Cara pengobatan
tradisonal menggunakan blau
cuci yang dicampur dengan
cuka. Jadi kalau ada yang terken
a penyakit ini, sekitar daerah pohon telinga akan biru karena menggunakan olesan pasta blau.





Dari telinga sebagai indra pendegaran, kita bisa memasuki ruang kota dalam
dimensi masa lalu
dan kini, mengungkapkan berbagai cerita dan fakta
te
ntang kehidupan sosial kultur yang bisa saja hilang, jika tidak
di
ceritakan
atau ditulis kembali. Sebuah kenangan dan sebuah perubahan dari waktu ke waktu
tentang budaya, aktivitas, kebiasaan dan laku yang membuat hal tersebut menjadi
romantisme kehidupan kota yang kadang telah terlupakan
. (*)





Kupang, 13 Agustus 2015

©daonlontar.blogspot.com




Komentar