Imaji Sebuah Lukisan











Sejenak saya lama mengamati sebuah lukisan di selasar ruang Pameran Seni
Rupa Temu Karya Taman Budaya Nasional yang berlangsung di Kupang 9-12 September
2015 yang lalu dan mengambil tema Untaian
Sotis
. Satu di antara sekian lukisan di pameran itu yang memperlihatkan
daya pikat esensi non visual dari sebuah lukisan dengan media 100cm x 100cm acrylic painting karya seniman
lokal
Geradus Louis Fori berjudul Hawa.





Lukisan dalam medium bujur sangkar ini membawa saya pada pemahaman yang multi
persepsi dan sedikit paradoks. Bagi orang awam ini lukisan yang biasa saja tak
ada arti dan sekedar permainan warna merah, putih dan hitam. Bagi anak-anak
pandangan mereka hanyalah sebuah pot bunga, wadah atau water closet sesuai tingkat common
sense
mereka. Bagi orang dewasa mereka cukup mengumam saja dan bagi kaum
puritan menilai ini sebagai sebuah pornografi,  sedangkan bagi penikmat seni, lukisan ini
menyimpan segudang imajinasi.





Dari judulnya saja, Hawa kita
sudah bisa memahami gambaran feminim dari lukisan tersebut, lukisan bagian bawah
tubuh perempuan yang sensual diapit sepasang payudara surealis, serta coretan
kata-kata “woman” membentuk mosaik pelindung
vagina dan tak lupa dipuncaknya dipaksakan clue siluet wajah perempuan. Begitu rapinya
sang pelukis menyampaikan makna tersirat dari sapuan kuas, membawa kita pada
pemahaman non linear dari artifisial dan substantif yang enigmatik.





Lukisan ini menyajikan aliran seni lukis Imperesionalisme, merupakan aliran
yang menggambarkan sesuatu secara impresif, maksudnya tidak menampakan sesuatu kejelasan
tetapi masih ada pemaknaannya. Sehingga membuka ruang diskursus dari seksualitas
hingga taboo, dari gender hingga feminisme, dari reproduksi hingga lambang
anarki. Lukisan yang sepertinya menjadi suara terhadap sistem dan hegemoni
patriakhi, yang mendobrak netralitas yang pincang dalam idiologi, sosial dan
ekonomi  yang membuat perempuan didominasi
dan di subordinansi, yang juga tergambarkan secara gamblang dalam lukisan ini.
(*)





Kupang, 14 September 2015

©daonlontar.blogspot.com




Komentar