Budaya Kosu di Timor dan Ma’ Toding di Toraja







Budaya Kosu, foto: fb
Atoni van Timor





Kebudayaan
itu seperti spora yang yang terbawa angin, entah kemana dan kemudian akan
tumbuh dan menjadi sebuah kebudayaan sebagai jejak dari kebudayaan asalnya,
atau seperti biji-bijian yang di bawa burung dalam perutnya untuk dibuang ke
ranah jauh, bertumbuh dan menjadi pohon kebudayaan yang baru di tanah tempat
berlabuh. Sulit untuk menemukan asal muasal budaya karena budaya tumbuh tanpa
pemberitahun, bergerak tanpa peta dan berkembang tanpa mengenal dimensi.




Budaya
saweran misalnya telah dikenal diberbagai tempat dan daerah. Namun pola dan cara
saweran bertumbuh dalam komunitas di mana budaya itu berkembang sesuai
kontekstualisasi topografi alam, karakter, kebiasaan hingga hasil bumi.







Di jazirah
Timor ada budaya Kosu, budaya berbentuk tarian dalam acara adat pernikahan
(Rais Matsao) oleh Suku Amarasi. Di mana pada puncak acara para penari yang
berasal dari sanak saudara dan handai-taulan mempelai perempuan menari dengan
lantunan musik dan syair untuk mengiringi dan melepaskan seorang perempuan dari
keluarga dan orang tuanya untuk memasuki rumah tangga yang baru bersama
pasangannya. Uniknya cara para penari memberikan saweran kepada mempelai
perempuan yaitu dengan cara menyelipkan uang kertas dengan berbagai nominal
pada lidi-lidi yang ada di mahkota sanggul mempelai sambil terus menari sesuai dengan
irama. Pemberian uang ini sebagai bahasa simbol bahwa sanak keluarga mendukung
kedua mempelai, dengan membekali mereka untuk mulai membina rumah tangga baru.







Budaya Ma' Toding, foto: fb
Wonderful Toraja





Tak berbeda
cerita dengan budaya dari Timor. Di jazirah Sulawesi Selatan ada budaya Ma'
Toding yaitu sebuah tradisi Orang Toraja, yang mana tuan rumah pesta dan para
tamu undangan memberikan saweran kepada para penari dengan cara menyelipkan
uang pada lidi-lidi di rambut/ikat kepala si penari. Budaya ini sebagai perwujudan
nilai dari ungkapan rasa syukur dan suka cita keluarga dan kerabat yang
mengadakan acara rambu tuka  atau acara
syukuran.





Sepintas
kemiripan budaya ini adalah sebuah metamorfosa, diantaranya cara mereka
menempatkan uang saweran, yaitu di kepala yang telah diberikan lidi-lidi untuk
disematkan lembaran uang. Entah bagaimana hingga pola saweran seperti ini berkembang, mungkin
adalah sebuah penghargaan dengan memberikannya di bagian kepala, dibandingkan
dengan memberikan secara langsung atau disakukan. 




Demikianlah budaya yang
sejatinya dijaga dan dilestarikan, tanpa perlu diatur dan di bongkar pasang.
Esensi budaya tetap dipelihara dalam semangat kebersamaaan, sehingga
eksistensinya akan tetap hadir diruang-ruang yang membawa nilai pewarisan
kultur dari generasi ke generasi. (*)





Kupang,
19 April 2016


©daonlontar.blogspot.com




Komentar