Bagaimana Rupa Pahlawan Sobe Sonbai III ?












Ketika masih
bersekolah di tingkat SD dan SMP, saya masih menghapal hingga kini wajah para
pahlawan nasional yang lukisannya terpajang di hampir sekeliling dinding ruang
kelas dan termuat di dalam uang kertas BI dengan berbagai pecahan yang dicetak
oleh Perum Peruri, sebut saja Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Imam Bonjol, Pangeran
Antasari, Kapiten Pattimura, dan lain-lain atau juga bisa melihat siluet dalam
tanda air uang kertas tersebut. Sejauh ini apa telah disosialisasikan
pemerintah berbekas bagi generasi saat ini. Namun kemudian muncul pertanyaan
siapa pahlawan nasional yang berasal dari NTT, yang berjuang dengan gigih
mempertahankan wilayahnya dari ekspansi kolonial, kita hanya sekedar tahu dari
pelajaran muatan lokal saja. 






Apakah tidak
ada tokoh pejuang di NTT yang masuk kriteria tersebut. Ketika Adrianus Mooy,
seorang putra NTT yang pernah menjabat sebagai Gubernur Indonesia 1988-1993,
mungkin saja mempunyai kesempatan untuk memperkenal tokoh pejuang asal NTT,
dengan menerbitkan gambar mata uang kertas seri pahlawan. Namun karena
ketiadaan gambar pahlawan asal NTT, sehingga beliau hanya sempat memuat ikon Sasando dan Danau Tiga Warna pada uang kertas lima ribu rupiah tahun emisi
1992. Timbul pertanyaan lagi, mengapa NTT tidak memiliki figur pahlawan dengan
kriteria seperti pahlawan-pahlawan daerah lainnya yang mempertahankan negerinya
menghadapi penjajah.





Di sekitar
tahun 1940-an, Bung Karno sempat meminta para seniman untuk membuat
lukisan-lukisan potret pahlawan untuk menghiasi dinding-dinding istana. Mungkin
presiden bermaksud untuk memberi semangat juang kepahlawanan bagi siapapun yang
masuk dan melihat-lihat istana, padahal masa itu belum ada wacana tentang
penetapan “pahlawan nasional”. Memang harus diakui lukisan beberapa tokoh
perjuangan melawan kolonialisme hanyalah gambaran imajinasi para pelukisnya,
seperti Si Singamangaraja XII (Sumatra Utara) dan Sultan Mahmud Badaruddin II
(Sumatra Selatan), karena tidak ada dasar otentik berupa sketsa atau foto
peninggalan para pahlawan tersebut, apalagi bagi mereka yang telah wafat jauh
di awal abad ke-20 atau bahkan yang berasal dari abad ke-16, inilah yang
menjadi sebuah tantangan. Jadi, bagaimana mungkin menghadirkan lukisan para
pahlawan tersebut, sementara wajah aslinya tak pernah ada yang memotret atau
melukis dalam secarik kertaspun.





Beberapa
lukisan pahlawan merupakan pesanan pemerintah daerah masing-masing, diciptakan
sebagai salah satu syarat agar seorang pemimpin atau pahlawan daerah
dianugerahi gelar pahlawan nasional. Beberapa tokoh pahlawan yang gambarnya ada
saat ini merupakan gambar hasil imajinasi karena ketiadaan referensi yang jelas
tentang wajah sang pahlawan, walaupun sejarah membenarkan keberadaannya.





****************





Jika ditanya
siapa Raja Timor yang paling membangkang terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Jawabannya adalah Liurai (Raja) Sonbai di sekitar abad ke-19, Sonbai sangat
menantang ekspansi Eropa di negeri Timor. Ekspedisi militer dilakukan oleh
Belanda untuk menumpas Sonbai namun dengan hasil yang gagal, kekalahan Sonbai
justru datang dari dalam akibat konflik internal. Sonbai dikokohkan sebagai
simbol perlawanan masyarakat Timor.





Ada beberapa
versi yang menceritakan tentang generasi Sonbai. Salah satunya mengatakan bahwa
leluhur Sonbai diyakini sebagai putra langit dan menjadi tokoh mistis magis
yang berasal dari Fatuleu. Raja Sobe Sonbai III adalah cucu dari tokoh magis
Sonbai yang menjadi pahlawan perjuangan masyarakat Timor yang hidup dan menjadi
raja sekitar pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Sedangkan versi
lainnya adalah bahwa Sonbai yang pertama berasal dari Belu, yang menikah dengan
putri Raja Kune Uf, Raja Fatumnutu. Nisnoni adalah cicit dari Sonbai I yang
mendirikan dinasti Nisnoni di Kupang. Sedangkan cicit yang lainnya adalah Sobe
Sonbai I yang berpindah ke Kauniki dan kemudian keturunannnya memakai gelar
Sobe Sonbai II dan selanjutnya Sobe Sonbai III, sehingga Sonbai kemudian lebih
dikenal menjadi nama sebuah dinasti. Sonbai terakhir inilah yang melakukan
perlawanan sengit terhadap Belanda.





Leluhur Sonbai
adalah raja-raja Timor yang sangat berpengaruh dan berkedudukan sebagai Kaiser
(Sebutan untuk raja) Kerajaan Oe’nam dengan ibukota Kauniki di kecamatan
Fatuleu sekarang atau terletak di utara Baubau. Kerajaan Sonbai adalah kerajaan
tradisional terbesar di Pulau
Timor pada masa itu yang wilayah kekuasaan kerajaan Sonbai memanjang dari
Miomafo di Kabupaten Timor Tengah Utara sekarang sampai Fatuleu di Kabupaten
Kupang. Sehingga Kerajaan Sonbai begitu tangguh untuk ditaklukkan.









 Patung Sonbai
di Kota Kupang (http://farm4.static.flickr.com)





Pada tahun
1818, Residen Timor, J. A. Hazaart, yang berkedudukan di Kupang melakukan
serangan militer terhadap wilayah kerajaan Dinasti Sonbai dan juga berhasil
menguasai kota pantai Atapupu yang terletak di pantai utara Timor, yang
sebelumnya dikuasai oleh Portugis. Sebagai bagian dari strategi, Belanda
menempatkan orang-orang Rote dan Sabu, untuk dimukimkan di sepanjang pantai
utara Timor, dengan maksud mengurangi dominasi kekuatan Kerajaan Sonbai.
Serangan terus dilakukan hingga satu dasawarsa berikutnya atau sampai tahun
1828, namun serangan tak dapat menaklukkan kekuasaan Kerajaan Sonbai. Sehingga
selama abad ke-19, kekuasaan Belanda hanya terkosentrasi di wilayah Kupang dan
sekitarnya.





Sobe Sonbai
III adalah raja kelima belas Sonbai dan juga sebagai raja terakhir. Ia dikenal
sebagai satu-satunya Raja Timor yang sampai akhir hayatnya tidak pernah
menandatangani perjanjian takluk kepada Belanda. Walaupun segala usaha telah
dilakukan Belanda untuk menaklukkannya, padahal di antara tahun 1900 hingga
1927, sudah 73 penguasa di Timor yang mendatangani Korte Verklaring. Keputusan yang diambil Sobe Sonbai III adalah
meneruskan keputusan yang telah di buat para leluhurnya.





Seperti di
masa kekuasaan VOC, salah satu kontrak yang terkenal adalah kontrak Paravicini.
Kontrak Paravicini adalah kontrak dagang yang ditandatangani oleh semua raja
yang berada di Pulau Timor dengan VOC. Namun hanya leluhur Sonbai yang enggan
untuk mendatanganinya. Kontrak ini disahkan tahun 1757, dengan isi kontrak
antara lain, persetujuan memberikan daerah 6 pal (zes palen gabied) untuk pemerintah Belanda di teluk Kupang dari
Tanjung Oesinas sampai dengan Tanjung Sulamu. Serta persetujuan menempatkan
orang-orang Rote di daerah 6 pal tersebut. Isi kontrak juga meminta raja-raja
mempersiapkan buruh-buruh untuk kepentingan Belanda.





Namun isi
kontrak yang dibuat pada abad ke-18, ini mendapat penentangan dari Sobe Sonbai
III di awal abad ke-20, sehingga terjadilah penyerangan ke Bipolo yang kemudian
terkenal dengan Perang Bipolo. Kemenangan diraih oleh Sobe Sonbai III, sehingga
memancing Belanda menghimpun kekuatan besar untuk melakukan serangan balasan
terhadap Sobe Sonbai III. Dengan perlengkapan perang yang memadai pasukan
Belanda dapat menembus tiga benteng dan menyerbu kediaman Sobe Sonbai III.
Beliau akhirnya takluk dan ditangkap, yang mana peristiwa tersebut terjadi
tahun 1905. Tertangkapnya Sobe Sonbai III tidak berarti perlawanan telah
berhenti sama sekali, karena baru di tahun 1908 seluruh wilayah Sobe Sonbai III
jatuh ke tangan kolonial Belanda. Menurut Belanda Sobe Sonbai III menyerah
dengan sukarela, namun ada versi yang mengatakan bahwa Sobe Sonbai III
dikhianati, Ia di undang untuk negosiasi namun akhirnya di tangkap. Namun versi
yang lebih dikenal bahwa Sobe Sonbai III tertangkap di Kauniki tahun 1905,
setelah benteng pertahanan yang terakhirnya yaitu Benteng Fatusiki di Desa
Oelnaineno telah direbut Belanda.





Berdasarkan
keputusan pengadilan Sobe Sonbai III, kemudian diasingkan ke Waingapu (Sumba)
selama setahun. Setelah itu Sobe Sonbai III berhasil kembali ke Kauniki, namun
ditangkap kembali dan ditawan di Kupang hingga meninggal dunia, dalam status
sebagai tawanan perang. Jenazah Sobe Sonbai dimakamkan di Fatufeto Kupang pada
Bulan Agustus tahun 1923. Untuk menghindari pengkultusan pahlawan yang dapat
membangkitkan perlawanan oleh penduduk pribumi, oleh Belanda kuburannya
disamarkan dan hingga kini tidak diketahui jelas keberadaan kuburan Sobe Sonbai
III. Sobe Sonbai III, seorang pahlawan dari Timor tanpa makam!.





Hingga saat
ini Sobe Sonbai III juga tidak pernah ditetapkan sebagai pahlawan nasional yang
berasal dari Pulau Timor. Dibandingkan dengan pahlawan-pahlawan nasional
seperti H.O.S. Tjokroaminoto (1883-1934) dan Untung Surapati (1660-1706) dari
Jawa Timur, Cut Nyak Dien (1850-1908), Cut Meutia (1870-1910), Teuku Tjik Ditiro
(1836-1891), Teuku Umar (1854-1899) dari Aceh, Si Singamangaradja XII
(1849-1907) dari Sumatra Utara, Raden Adjeng Kartini (1879-1904) dari Jawa
Tengah, Raden Dewi Sartika (1884-1947) dari Jawa Barat, Pangeran Antasari
(1809-1892) dari Kalimantan Selatan, Sultan Hasanuddin (1631-1670) dari
Sulawesi Selatan, Kapitan Pattimura (1783-1817) dan Martha Christina Tijahahu
(1800-1818) dari Maluku, Pangeran Diponegoro (1785-1855) dari D. I. Yogyakarta,
Tuanku Imam Bondjol (1772-1864) dari Sumatra Barat, I Gusti Ketut
Jelantik(    - 1849) dari Bali, dan
tentunya masih banyak lagi.





Walaupun kita
telah memiliki tokoh pejuang daerah yang telah ditetapkan menjadi Pahlawan
Nasional yaitu Prof. Dr. W. Z. Johannes (1895-1952), dengan Surat Keputusan
Presiden No.06/TK/1968 tertanggal 27 Maret 1968; Izaak Huru Doko dengan Surat
Keputusan Presiden No.085/TK/TH 2006 tertanggal 3 Maret 2006; dan Prof. DR. Ir.
Herman Johannes dengan Surat Keputusan Presiden No.058/TK/TH 2009 tertanggal 6
November 2009. Namun kita juga butuh tokoh perjuangan di garis depan yang
frontal menghadapi kekuasaan kolonial.





****************





Berdasarkan
serpihan sejarah di atas, akan menjadi tantangan bila masyarakat dan pemerintah
daerah berinisiatif untuk bisa menghadirkan Sobe Sonbai III sebagai pahlawan
daerah ke pentas nasional sebagai pahlawan yang diperhitungkan bagi perjuangan
dalam membela negeri. Langkah sederhana perlu dilakukan seperti mengadakan
simposium hakekat perjuangan Sobe Sonbai III, hingga mengadakan sayembara
terbuka melukis wajah pahlawan Sobe Sonbai III. Dapat pula dengan membentuk tim
pelukis yang saling berkaleborasi, sehingga bisa menghadirkan beberapa lukisan
yang kemudian dinilai oleh dewan juri yang kompeten dan ditambah dengan
berbagai pilihan kegiatan lainnya. Karena bagaimanapun sebuah lukisan penting
menjadi syarat penganugerahan pahlawan nasional.







Prajurit Timor dengan perlengkapannya di wilayah Kupang dan Timor pada
tahun 1875 berdasarkan laporan ekspedisi SMS Jerman Gazelle - Tropenmuseum
Royal Tropical Institute 01)








Meski terdapat
beberapa catatan sejarah tentang Sonbai, ternyata sama sekali tidak ditemukan
sosok wajah Sobe Sonbai III. Sehingga para pelukis akan bekerja layaknya
seorang seniman potret di biro kriminal yang mereka-reka wajah yang tak
dikenal, dengan informasi sekecil apapun yang diperoleh dapat mempengaruhi
hasil gambar atau dengan merubah berdasarkan beberapa masukan lagi. Cara lain
adalah bertemu dengan keturunan langsung atau keturunan dari keluarga dan
teman-teman sang pahlawan. Adapula dengan membangkitkan intuisi pelukis melalui
beberapa buku bacaan referensi yang menyangkut sepak terjang sang pahlawan,
sehingga dapat menjiwai karakter pahlawan. Di samping itu dengan menemukenali
ciri-ciri awal seperti umur, seragam perang dengan aksesoris khas Timor (kalung
atau penutup kepala), bentuk wajah, corak janggut atau kumis, model rambut,
sorot mata dan lain sebagainya.






Melukis
pahlawan tentu harus dengan gaya realistik yang setidaknya akurat menyerupai
potret foto dengan menggunakan cat minyak di atas kanvas. Lukisan ini akan
berpengaruh luas jika suatu saat bisa ditetapkan melalui peraturan daerah dan
kemudian mematangkan rencana pemerintah untuk menetapkan sebagai salah satu
tokoh pahlawan nasional asal NTT. Dengan adanya lukisan Sobe Sonbai III, maka
dijadikan rujukan bagi pembangunan ikon patung dan lain sebagainya, termasuk
dalam visual buku-buku pelajaran sejarah. Hal ini untuk menghindari satu
pahlawan dengan sejumlah lukisan wajah yang berbeda, begitupun dengan
patung-patungnya.


  




 Prajurit Timor dengan perlengkapannya di wilayah Kupang dan Timor pada
tahun 1875 berdasarkan laporan ekspedisi SMS Jerman Gazelle - Tropenmuseum
Royal Tropical Institute 02)








Sekali lagi
untuk menggambar tokoh pahlawan tidak mudah, perlu tinjauan historis
antropologis maupun juga dengan pendekatan spesifik etnografis. Sehingga kita
tidak menghasilkan karya yang kelak akan dipertanyakan lagi, tetapi menjadi
sebuah kebanggaan bagi daerah. Kesalahan pernah terjadi pada pembuatan monumen
Patung Sonbai di Bilangan Fontein Kupang. Masalahnya adalah rencana pembangunan
patung, sepertinya tanpa ada kajian yang melibatkan peran sejarahwan, sehingga
model patung ini mungkin tidak sesuai dengan kenyataan. Model Patung Sonbai
yang ada di depan Gereja Kathedral Kupang itu dikritik oleh Sejarahwan Andre
Soh, yang katanya lebih menyerupai sosok Pangeran Diponegoro dan tak heran jika
banyak pendatang yang mengira bahwa patung tersebut adalah patung Pangeran
Diponegoro, demikian pula dengan penulisan plakat nama pahlawan yang hanya
tertera nama “Sonbai” tanpa kejelasan status Sonbai I, II atau III. Dari
pelajaran tersebut, untuk membuat sketsa dan kemudian menjadi lukisan Sobe
Sonbai III, harus lebih teliti dengan melibatkan peran berbagai pihak dari
pemerintah daerah, para tokoh adat, sejarahwan dan tentunya pelukis dengan kreativitas
yang dimilikinya. Proyek lukisan ini potensial dikembangkan oleh para seniman
Nusa Tenggara Timur, seperti mereka yang baru saja mengikutkan karyanya pada
Pameran Seni Lukis "Cahaya Dari Timur", di Yogyakarta 25-30 Mei 2013
lalu, antara lain Fecky Messah, Ferry Wabang, Jacky Laudan dan Yopie Liliweri.





Hingga kini
tidak ada penelusuran jejak makam Sobe Sonbai III di Kota Kupang, dan
sepertinya generasi sekarang khilaf kalau tidak berusaha menempatkan kembali
sosok Sobe Sonbai III ke tempat seharusnya! Sehingga akan menjadi tantangan
bagi generasi muda, siapa saja yang berhasil mempresentasikan karya lukisan
wajah Sobe Sonbai III dalam kanvas dan kemudian diakui, maka kelak akan selalu
dikenal oleh para seniman, budayawan serta sejarahwan se-Nusa Tenggara Timur.
Sebagai bagian dan wujud konstribusi terhadap kebanggaan daaerah!,
tertantangkah! (*)








Berdasarkan
hasil diskusi dengan beberapa teman,


Sembari
melemparkan gagasan ini yang


mungkin
kelak dapat terealisasi!





Kupang, 30 Mei 2013


©daonlontar.blogspot.com







Komentar