Lembur, Pulang Larut Malam








Ilustrasi: http://mikhamakalew.tumblr.com





Untuk kesekiankalinya pulang malam. Waktu
yang sempit membuat kita seolah berpacu dalam pekerjaan dan pekerjaan harus
segera diselesaikan (the point in time at
which something must be completed
). Entah sudah berapa banyak malam-malam
yang dihabiskan dengan lembur. Pulang malam dengan suasana jalan yang hening
ketika waktu telah menunjukkan hari baru, lewat tengah malam atau sesekali
pulang di pagi hari. Pulang larut malam dengan kendaraan roda dua, menikmati alur
membelah jalanan malam yang telah pekat oleh cahaya malam. Pulang malam membawa
rasa letih, dan obat terbaik adalah sesegera mungkin terlelap dalam tidur. Lembur
menjadi momok namun juga dinilai sebagai penambah kesejahteraan.







Begitu kerja telah menjadi bagian
dari prioritas hidup, maka “lembur” akhirnya menghiasi pembendahaaraan kata
dalam dunia pekerjaan. Kerja adalah aktivitas untuk bisa memenuhi kebutuhan
hidup. Kerja menuntut untuk mengolah sumber daya guna menghasilkan sesuatu yang
berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sejak awal manusia diciptakan, sejak
saat itu pula manusia sudah harus bekerja. Namun pekerjaan saat itu tidaklah
sekompleks pekerjaan saat ini, hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasar. Dalam
perkembangannya kemudian pekerjaan menjadi komoditas politik yang mempertemukan
benturan pemikiran antara kapitalisme dan marxisme.





Lembur setidaknya mulai dikenal
ketika Eropa telah memasuki industrialisme, dimana para buruh dipaksa untuk menambah
hari kerja sekaligus menambah jam kerja. Namun sayangnya para buruh tidak
mengalami peningkatan kesejahteraan. Hingga kini lembur menjadi hal umum
dikenal dalam perusahaan yang bergerak baik di industri rill maupun non rill. Menurut
peraturan saat ini waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7
(tujuh) jam sehari untuk 6 (enam) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam dalam
seminggu atau 8 (delapan) jam sehari untuk 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat
puluh) jam dalam seminggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan
atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah. Sementara itu waktu
kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam/hari dan 14 (empat
belas) jam dalam 1 (satu) minggu diluar istirahat mingguan atau hari libur
resmi. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana dengan lembur yang melebihi 3 (tiga)
jam bahkan bekerja hingga pagi hari.





Apa yang menjadi salah dengan lembur.
Di saat ini banyak juga yang menempatkan kerja sebagai tujuan hidup dengan
menyandang gelar workaholic, namun
sebagai manusia kita butuh juga relaksasi dan butuh kesantaian. Seharusnya
kerja memperlihatkan kualitasnya bukan dari penambahan kuantitas jam kerja. Mungkin
hanya persoalan manajemen waktu yang tidak dikelola dengan baik, sehingga apa
yang kemudian disebut deadline seharusnya
tidak ada, dengan fokus pada pembagian kerja yang lebih merata, proporsional
dan lebih humanis. Demikian pula bahwa lembur seharusnya tidak ada, bila mesin
dan teknologi telah membantu manusia menambah jam bersantai dan mengurangi jam
kerja.







Paul Lafargue

Photo:
http://www.kersplebedeb.com


Seorang sosialis asal Prancis, Paul
Lafargue (1842-1911) memahami kerja sebagai aktivitas yang tidak masuk akal,
bahkan hingga menilai bahwa kerja bukanlah kebutuhan organik manusia. Manusia
dipaksa untuk bekerja memproduksi barang dan jasa secara berlebihan, hasil
lebih itu yang kemudian menciptakan pasar tambahan yang dipaksakan untuk
menyerap. Terlepas dari pandangannya saat itu erat kaitan dengan kondisi masa
tersebut, namun dibandingkan dengan saat ini yang terjadi adalah pasar konsumsi
massal, tetapi setidaknya kita dapat meresapi apa yang menjadi pemikiran bagi
Lafargue secara pribadi. Misalnya pada abad ke-18, dimulai kerja lembur yang
luar biasa yaitu 12-16 jam sehari semalam. Jam kerja begitu dikalilipatkan
hingga saat ini, yang dihitung sebagai lembur. Sangat kontra dengan pendapat
Paul Lafargue bahwa di masa depan manusia pekerja seharusnya bekerja tak lebih
dari 3 jam sehari.





Berangkat dari prihal di atas bahwa
dengan terjadinya peningkatan dalam kemajuan teknologi, maka pekerjaan manusia sangat
terbantukan. Dengan teknologi dan mesin, pekerjaaan bisa dilakukan secara cepat
dan menghasilkan kuantitas yang lebih banyak. Seharusnya thesis Lafargue benar
bahwa dengan kemajuan teknologi saat ini justru memudahkan manusia dalam
bekerja, banyak jam yang bisa dihemat dalam kerja untuk digunakan beristirahat
dan bersantai. Namun apa yang terjadi kemudian, justru dengan kemajuan teknologi
manusia semakin bertambah beban kerjanya, dengan alasan maksimalisasi profit,
sehingga manusia dan mesin seolah berkompetisi. Seperti pepatah “cepat ada yang di kejar, lambat ada yang di
tunggu”
. (*)





Pulang larut malam!


Kupang, 20
Februari 2014 


©daonlontar.blogspot.com




Komentar