Soevenir dari Waingapu – Sumba Timur











Ketika berada di Kota Waingapu, saya
berkesempatan jalan-jalan di Pasar Matawai, yang masih
semrawut karena masih menunggu rehabilitasi pasar yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Menariknya saya menyinggahi salah satu lapak pedagang kaki lima yang
mengelar dagangan cenderamata benda seni dan budaya khas Sumba, diantaranya saya melihat kerajinan tulang,
logam hingga tenun ikat. Berbagai soevenir ini ditawar dengan harga yang termurah puluhan ribu hingga ratusan ribu
rupiah, tergantung kerumitan benda yang dibuat hingga nilai intrinsik dan ekstrinsiknya atau juga karena keantikannya.














Sumba memang telah dikenal secara dunia dengan pamor tenun ikatnya yang khas. Kain tenun ikat Sumba memiliki nuansa warna alami dengan simbol-simbil dekoratif yang penuh pemaknaan baik secara sosial kemasyarakatan, budaya
leluhur hingga keagamaan tradisional. Belum lagi proses untuk menghasilkan selembar kain tenun
ikat membutuhkan waktu yang lama dan juga melibatkan peran emosional jiwa sang penenun. Dalam kebudayaan Sumba, kain tenun digunakan
sebagai pakaian adat, belis (mas kawin), pembungkus jenazah yang membutuhkan begitu banyak kain tenun ikat dan juga untuk kebutuhan adat atau aksesoris lainnya.





Benda-benda karya seni menarik lainnya yang saya amati adalah tongal, yaitu dompet tradisional masyarakat Sumba yang terbuat dari
kayu, haikara yaitu sisir hias
yang terbuat dari kulit penyu, digunakan oleh para perempuan di bagian belakang
kepala pada acara-acara adat tertentu, anahida
atau muti sala yaitu manik-manik
antik yang terbuat dari batu berwarna orange, dan mamuli yaitu perhiasan emas yang bentuknya menyerupai kelamin
perempuan atau rahim dan digunakan sebagai giwang, mata kalung (liontin) atau bros.




















Adapun yang juga mewakili kebudayaan Sumba adalah Parang Sumba, parang yang memiliki bentuk ramping di dekat gagang dan kemudian melebar hingga ke ujung, sehingga memiliki ketangkasan di udara, dan menurut berbagai referensi Parang Sumba ini dahulunya hanya untuk berburu kepala manusia. Jika dikaitkan dengan bentuknya yang aerobatik memang parang
ini digunakan untuk menebas kepala musuh, kini masa itu telah berakhir dan
benda ini hanya menjadi aksesoris pakaian adat dan atau juga menjadi barang
pajangan. keunikan lain dari Parang Sumba adalah menggunakan gagang dari
tanduk kerbau dan juga gading, yang dahulunya hanya dipakai oleh kalangan bangsawan.










Selain itu ada luluamah,
yaitu sejenis kalung lebar yang berupa jalinan kawat tembaga dengan bentuk kedua
ujungnya menyerupai kepala kelamin laki-laki (penis) dan disandingkan dengan mamuli makamuluk yang bentuknya
menyerupai kelamin perempuan (vagina).










Terdapat soevenir kerajinan yang terbuat dari tembaga seperti
patung gajah, kura-kura, belalang, kupu-kupu, sepasang patung laki-laki dan
sepasang perempuan, dan juga tak kalah unik adalah dua patung pasangan yang
sedang bersetubuh.




















Benda-benda hasil kebudayaan seni yang masih bisa
dibilang primitif ini memiliki fungsi sosial yang
berkaitan dengan kepercayaan Marapu,
dari kerajinan emas, tulang, gading, kulit penyu, kayu,
manik-manik, batu, daun pandan dan lontar hingga
tanah liat dan logam. Ini menandakan bahwa Sumba memiliki kebudayaan yang tinggi
dan tentunya mempesona. Benda-benda ini kemudian menjadi sarana tukar menukar
dalam adat dan sarana penyembahan terhadap Marapu.
Marapu adalah kepercayaan terhadap
roh nenek moyang sebagai perantaraan antara penghubung antara kehidupan di
dunia dengan akherat, antara manusia dengan penciptanya.





Pedagang cenderamata memang sering membedakan harga yang ditawarkan, baik kepada penduduk lokal, wisatawan domestik hingga wisatawan mancanegara. Hal ini dilakukan karena mereka menawarkan juga berdasarkan kemampuan pembeli, sehingga membuka ruang tawar menawar. Benda kebudayaan memang menarik bagi para wisatawan, dengan perhatian besar oleh semua pihak terhadap pengembangan kebudayaan daerah maka akan meningkatkan penjualan soevenir, dengan sendirinya kebudayaan Sumba
semakin terangkat dan meningkatkan ekonomi masyarakat di Sumba dalam sektor
pariwisata.





**************************





Selain berjalan di pasar tradisional menemukan berbagai penawaran
banda-benda budaya dan seni khas Pulau Sumba, saya juga sempat melihat koleksi benda budaya milik Bapak Oktovianus Nubatonis, seorang pengusaha di Kota
Waingapu pemilik Hotel Kaliuda, Ia hanya mau memperlihatkan beberapa koleksinya yang memang akan ditawarkan seperti kain tenun
yang telah berusia ratusan tahun, patung etnik dan aksesoris para pelaksana adat.







             









Pengusaha yang memperdagangkan benda-benda etnik ini pernah melakukan pergelaran benda
kebudayaan Sumba Timur di Istana Presiden RI di tahun 90-an, yang dihadiri oleh isteri-isteri pejabat
dubes berbagai negara di Jakarta saat itu. Dalam diskusi dengannya, Ia menawarkan kain tenun ikat Wau Adat Kebesa Sumba Barat, seharga Rp. 350 juta. Kain dengan panjang ± 8 meter ini merupakan benda pusaka yang telah dialihpemilikan
dari Ibu Rambu Yuliana sejak tahun 2000 dan kabarnya kain tenun yang sama telah berada di salah satu
Museum di Belanda yang sama-sama diperkirakan berasal dari abad ke-19. 





Ada juga koleksi patung kayu dari Bajawa
– Flores yang ditawarkan dengan harga Rp. 50 juta perpatung dan Rp. 150 juta satu set
yang terdiri dari 3 patung yaitu patung jantan (sedang), betina (besar) dan patung penjaga
(kecil).














Beliaupun menawarkan lamba, yang merupakan perhiasan kepala khas Sumba yang
menyerupai bentuk bula molik dari Pulau Rote,
berbentuk seperti tanduk yang terbuat dari emas atau lapisan perak, digunakan di
depan dahi pada saat upacara tertentu baik digunakan oleh laki-laki atau
perempuan. Lamba ini terbuat dari 66 gram emas 18 karat, yang dijual berbanding dengan Rp. 2,5 juta per gramnya. Sedangkan
koleksi yang tidak untuk dijual adalah kalung muti sala dengan mata kalung
emas.







Saya sempat juga diperlihatkan usaha
kerajinan emas yang tengah dikelolanya, yaitu proses pembuatan anting dengan motif ayam. Beliau hanya memperlihatkan kerajinan emas
anting
ayam setengah jadi. Jika telah jadi dan disempurnakan
maka spesifikasi menjadi 64 gram emas 18 karat yang dinilai Rp. 1,5 juta pergramnya. Menurutnya semua masih bisa ditawar, Bapak Oktovianus Nubatonis dapat dihubungi melalui ponsel di nomer 081339299439.




























**************************





Ketika akan kembali pulang ke Kupang
saya masih menemukan lagi penjualan soevenir di dalam Bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu. Sekilas seperti bandara lokal di NTT lainnya, terdapat stand yang menawarkan
berbagai pernak-pernik khas etnik daerah. Berbagai benda khas Sumba itu antara lain: kain tenun ikat, mamuli, kalung muti sala, anting, gelang
manik-manik, gantungan kunci dan masih banyak lagi. Mereka
menawarkan dengan harga pasti, tetapi peluang menawarpun masih terbuka. Ada
yang ditawarkan dengan harga murah, ada juga yang cukup mahal, maklum saja ini
dipasarkan dalam ruang bandara. Souvenir khas Sumba dinilai
memiliki keunikan dan karakter yang kuat karena mewakili kebudayaan tua yang masih
tersisa.

























Penjualan soevenir ini semacam art galeri, yang memang membidik para
wisatawan lokal dan mancanegara yang akan datang atau pulang dari destinasi wisata. Namun dengan koleksi terbatas yang membuat para pencari cenderamata atau kenang-kenangan kurung mandapatkan referensi alternatif dalam menentukan pilihan. Kadang mereka kalah dibandingkan
dengan pedagang kaki lima dalam hal apa yang ditawarkan, atau juga bagi
para pengusaha yang menyimpannya di rumah dan menawarkannya pada momen
tertentu. (*)





Catatan dari Waingapu – Sumba Timur


Kupang, 30 Juni 2013


©daonlontar.blogspot.com







Komentar