Ode untuk Almarhumah Sri Wulandari Nurmia







Saya
masih ingat di sekitaran awal tahun 2000-an di tanah leluhur bugis, saya masih
menyaksikan dudukan adat antara tetua keluarga kami dengan ayahmu, yang mana
terlihat ayahmu dengan wajah datar mengambil keputusan berat yang kelak sangat
berpengaruh besar pada dirimu. Kamu hanyalah bocah kecil bermata sipit dengan
wajah yang bulat. Namamu Wulan!.







Seiring
jarum jam yang  terus berputar, kamu
tumbuh dewasa dan menjadi anak gadis yang cantik. Teman-temanmu mengatakan
wajahmu ala korean girls. Seorang
gadis yang tumbuh dengan kecerdasan sosial yang tinggi, mudah bergaul dan
sejatinya memiliki banyak teman. Sebagai anak milenial yang tumbuh dalam
pusaran kecanggihan teknologi, kamu manjadi satu dari sekian anak-anak yang
menunjukkan diri sebagai anak sosmed. Kamu curhat di media sosial dan segalanya
hingga memuji kebesaran hati ibu membesarkanmu dengan jerih payahnya sendiri.





Temanmu
banyak, dan semuanya menjadi sahabat. Jangankan itu seseorang yang baru dikenal
sekali dua kali tak lama telah menjadi sahabat terdekatmu. Sifat periangmu dan
pandai bergaul membawa fitrahmu banyak dikenal orang. Dan tak heran ada yang
menjulukimu artis dari Sulilie, sebuah dusun di kecamatan Ajengale tanah Ugi.





Engkau
adalah mahasiswa di semester lima STIA Puangrimaggalatung Sengkang yang  sedang mencari jati diri, dan berusaha menjadi
dirinya sendiri. Dengan berbagai problema kehidupan masa muda, dari masalah
kekasih hati, pergaulan dengan sahabat, penampilan modis hingga eksisting di
sosmed. Gadis ceria yang mempunyai hobby menyanyi dan jalan-jalan, pengemar
klub sepak bola Barcelona dan rider Moto GP Marc Marquez.





Di
penghujung tahun 2017, awal mula kisah pedih, dirimu dalam keadaan sakit. Sakit
yang kemudian dibawa dalam perjalanan panjang Sulilie tanah Ugi hingga Betun
tanah Timor, sakit yang dibawa dalam etape ribuan kilometer menyusuri buana
melintasi bahari. Sakit yang semoga mengugurkan dosa-dosamu. Perjalanan yang
membawamu ingin menghadiri pernikahan kakakmu.





Pernikahan
kakakmu dilangsungkan tanggal 7 Januari 2018. Malam, belum di penghujung
gelaran pesta selesai, dirimu koma dan di Senin tanggal 8 Januari 2018, pukul
5.45 pagi dirimu menghembuskan nafas terakhir dari nafas yang pertama kau
hembuskan sesaat keluar dari rahim ibumu, itu 20 tahun yang lalu. Tak butuh waktu lama, sakit itu telah mengakhirimu, Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un. Apa
daya, di tempat yang sama, sehari yang lalu kakakmu melangsungkan akad nikah
dan sehari kemudian engkau terlentang terbujur diam dalam senyuman tipis dengan
mata terpejam dalam tidur panjangmu.





Kabar
itu seperti belati dalam pikiran dan ingatan orang-orang terdekatmu. Seketika
dinding sosial mediamu dipenuhi dengan rasa tidak percaya, seolah mimpi, ruang
maya yang dipenuhi dengan potongan antologi kesedihan dari keluarga, teman,
sahabat dari yang saat itu berada dekat deganmu hingga di tempat yang jauh, dengan kata-kata tanda tanya apa sebab musebab mengapa engkau mangkat
di usia muda. Ada yang membagi foto kenangan, ada yang merangkainya dalam jigsaw, ada janji teman-temanmu yang
belum saling dipenuhi dan janji bersua yang belum tunai hingga ikon kesedihan,
foto kebersamaan, dan lain sebagainya. Semua merasa kehilangan teramat sangat! 





Mereka
yang ada disamping jasadmu meratap kehilangan, dan mereka yang jauh di tanah
Ugi menunduk dalam tangis. Meninggal dunia dengan sakit yang tak terobati.
Memang takdir tak dapat ditepis, dan siapa yang paling bersalah atas
kematianmu. Tak ada waktu lagi untuk mencari siapa yang salah. Kita semua
bersalah atas kematianmu!





Hingga
hari ketiga, masih banyak yang belum bisa melupakanmu, dan tampaknya untuk
waktu mendatang tak akan bisa melupakanmu. Sifatmu yang manja kekanak-kanakan,
sifat periang hingga judes, kecentilan, kecerewetan, suara cempreng, pandai
bertegur sapa (magalak), bergaya (ledo) dan sifat-sifat lainmu membekas
dalam ingatan keluarga, teman dan sahabat. Membawa kerinduan ingin bersua
kembali denganmu, walau sekedar dalam imajinasi!





Dan
bagaimana perasaan ibumu, aku melihatnya seperti lagu untuk seorang ibu dalam
kereta yang tengah meratapi kepergian anak gadisnya seumpama dalam lagu
perjalanan yang dinyanyikan Sarasvati. Dan bagaimana dengan dua saudara
kembarmu dan adik-adikmu mereka teramat kehilangan adik dan kakak tercinta. Kita
semua ibarat sebuah benih yang diberi kesempatan tumbuh menjadi pohon-pohon yang
kuat, di suatu waktu daun-daun kita berguguran, menunjukan bahwa kita semua
begitu dekat dengan kematian. Dan kamu kini tidak hanya menjadi daun yang gugur
tatapi pohon yang mati dan akan terurai menjadi tanah kembali. Kamu memilih
mangkat di tanah kelahiranmu!





Kematianmu
membawa cerita yang seolah tak berkesudahan, selalu ada cerita menyimpang dan
tak baik itu dibawa terus, laksana angin berhembus. Biarlah kami keluarga
menelannya menjadi hikmah dan sebuah pembelajaran. Manusia memiliki batasan episode
dalam hidup, tak banyak yang bisa menyelesaikan dengan tuntas. Bukankah hidup
ini seperti buku, ada yang tipis dan ada yang tebal, dan semua memori itu
tertanam dalam pikiran kita. Akhirnya kamu harus pergi tanpa menuntaskan bab-bab
selanjutnya. Di saat kamu tengah menyusun rancangan epilog yang bahagia, tentang
memiliki sebuah gitar, segera menyelesaikan kuliah dan wisuda, menikah di usia muda dengan jejaka pilihanmu, hingga
bisa memberangkat ibundamu ke tanah suci.





Dan
kamupun telah berisitirahat, tidak seperti kami yang harus melanjutkan hidup,
hingga tiba masa bagi kita untuk berakhir. Dalam istirahat panjangmu, semoga semua
amal ibadah sekecil apapun InsyaAllah dapat menerangimu. Kamu pernah berpesan “Bila engkau ingin satu, maka jangan ambil
dua. Karena satu menggenapkan dan dua melenyapkan”
. Kamu tentu tak memilih
ganjil diantara yang genap. Tapi kamu memilih duluan daripada yang lain.





Menjadi
pusara, sebagai penanda tempat terakhir dibumi! Diakhir tahlilan 3 malammu!





Al-fatiha untuk
Almarmhumah Sri Wulandari Nurmia





Selamat jalan Sri
Wulandari Nurmia, dari Pamanmu, Bibimu dan Sepupu 2 kalimu!


Maman – Intan -- Aisya





Kupang, 10 Januari 2018


@daonlontar.blogspot.com









Komentar